Ticker

6/recent/ticker-posts

Goresan Hati: Menyendiri, Ibarat Membunuh Diri

Libur, berarti nganggur. Hanya bisa di depan laptop, HP, atau di TV. Bergantian. Bikin bosan. Tidak ada aktivitas apa pun. Kadang bikin frustasi. Apa akan tetap begini?

Saya bertanya-tanya tentang diri saya; apakah akan tetap seperti ini? sedangkan waktu semakin bergulir. Usia semakin betambah. Napas semakin sedikit di dunia. Namun apa yang bisa saya lakukan? Hanya diam. Kadang, ada banyak hal yang ingin saya capai. Tapi, inilah saya. Yang ingin dicapai terlalu sulit untuk dicapai. Tiada daya. Lemah. Bodoh.
image:pixabay.com

Rasanya, berdiam diri hanyalah tindakan konyol. Saya ingin bekerja terus. Menghasilkan sesuatu. Semisal uang. Ya. Saya membutuhkan banyak uang. Saya menangis saat melihat orangtua masih mnengisi perut saya dengan bekerja keras. Pagi buta menyiapkan sesuap nasi untuk dijual. Siang membersihkan rumah. Malam, bekerja lagi. Hanya sedikit waktu yang digunakan untuk istirahat. Apa saya begitu tidak bergunanya?

Kadang, saya merasa bahwa diri saya adalah beban. Orangtua tidak bisa berleha-leha karena saya. Bukan kadang. Sering. Tapi, apa yang bisa saya lakukan? Memberi uang tidak seberapa kepada mereka sudah saya lakukan. Tapi tetap saja itu tidak berefek sama sekali. Uang memang segalanya. Hingga membuat saya tidak berdaya.

Saya ingin lari, keluar untuk menemukan hal yang baru. Tentunya berpenghasilan yang lebih banyak. Namun, saya takut, takut untuk melangkah. Hal yang baru dicoba terasa menyakitkan. Zona aman yang sekarang terasa menyiksa namun terlalu sulit untuk ditinggalkan. Apakah saya bodoh? Anggap saja begitu.

Ya, saya memang bodoh. Bodoh dari segalanya. Bodoh karena masih saja bergelut dengan dosa. Kenapa tidak bisa mengubah diri? Ya, saya memang cocok menjadi orang bodoh. Membahagiakan orangtua masih saja belum saya capai. Saya tidak bisa sesekhawatir mereka terhadap saya. Saya masih menghendus ingus yang kadang sebenarnya saya menangis tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Ada beberapa sepeda motor yang menagih sebuah riba yang saya makan kepada orangtua. Ingin rasanya mengusir mereka. Tapi, bukankah itu percuma? Saya sudah menelan riba mereka. Dan orangtua, tergupuh-gupuh untuk menyapa mereka lalu memberikan beberapa lembar untuk hari ini. lembaran itu hasil dari keringat di pag hari. Menangis. Hanya di dalam hati. Terpukul. Sudah membekas dan rasanya sakit.

Inilah derita. Masih terkurung dalam menyendiri yang kadang terasa membunuh diri. Tidak bisa berbuat apa-apa. Luka itu terasa menyakitkan. Akankah saya seperti ini terus? Tuhan, bukankah saya terlalu sering berdoa. Atau, terlalu sulitkah untuk diterima doa saya? Kadang, merenungkan ini membuat saya menjadi manusia yang tidak pandai bersyukur. Oh, bukan kadang. Tapi mungkin saja itu yang terjadi sehingga doa itu tidak terkabulkan.

Tuhan, ketahuilah. Di hati, saya ingin memberikan mereka gunung yang tinggi untuk dijual supaya mereka dengan santai menyebut nama-Mu. Saya ingin menjual lautan supaya mereka dengan santai berdiam diri lalu tetap memuja-muja-Mu. Tapi, apalah daya saya, itu hanyalah kiasan yang tidak ada gunanya sama sekali. Terlalu miris bukan? Tapi Tuhan, bukankah selama ini saya membantu mereka; memijat mereka, membawa mereka ke puskesmas, membersihkan rumah, dan ada banyak hal-hal kecil lainya. Walau, ya, saya akui kadang saya merasa sedikit geram dan risih. Tapi, tidakkah Engkau menilai itu.

Sadar. Ya, saya benar-benar sadar akan kekurangan saya. Kerap mengutuk diri adalah kebiasaan terburuk saya. Buruk sekali. Namun, hanya inilah yang saya lakukan untuk menyesali bagaimana sikap saya selama ini. Benarkah saya manusia terburuk? Tuhan, saya takut siksaan. Namun....

Huh, menyendiri kadang menyiksa diri. Benar-benar seperti tercekik. Walau tidak benar-benar tercekik tapi begitu terasa. Tuhan... ubahlah hamba-Mu ini. Murah meriahkan rizki hamba-Mu ini. Ini semata untuk mereka. Amin!
Reactions

Post a Comment

0 Comments